Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Loba, Cemburu*

Padanan kata untuk serakah itu tamak, loba; sedangkan untuk cemburu: iri, dengki, sirik. Tema-tema penting dalam psikoanalisis Melanie Klein mencakup pula greeed, keserakahan; dan envy, keirihatian.

Keserakahan bukan buat merusak, tetapi untuk memiliki dan mengendalikan. Dalam alegori angsa yang menaruh telur-telur emasnya, si petani yang mengasihinya merasa tidak cukup dengan hanya diberi satu telur emas setiap pagi. Ketika ketamakan petani itu memuncak, ia membunuh angsa, bukan karena membenci, tetapi demi memiliki dan mengontrol seluruh sumber daya yang ada pada angsa peghasil telur emas. Keserakahan menyantap (oral greed) bayi atau anak adalah kegairahan yang mendorongnya berfantasi tentang “buah dada ibu” yang begitu luar biasa berlimpah mengandung air susu. Pada suatu saat yang tercipta adalah fantasi tentang buah dada sebagai tempat menghimpun air susu yang sangat didambakan, hingga bertumpuk-tumpuk. Kelobaan bayi dan anak dapat mendorongnya memuncakkan fantasinya, bahwa dirinya tidak mau lagi mendapatkan air susu hanya dalam tetes-tetes sebagaimana biasanya. Agresi destruktif di tengah kemarahan ditujukan ke buah dada ibu, bukan karena membenci atau tersebab kehendak menghancurkan, melainkan karena ingin menguasai, memiliki, dan mengontrol seluruh sumber daya.

Sesungguhnya iri hati—yang menurut Klein merupakan hal paling destruktif di antara seluruh proses mental primitif—adalah respons yang lain terhadap situasi yang sama. Di sini, bayi atau anak yang iri tidak lagi ingin memiliki atau mengendalikan sumber daya yang baik, tetapi bermaksud menyerang dan merusaknya. Fantasi tentang destruksi terhadap kebaikan, menjadi jalan satu-satunya untuk mengakhiri ketakmampuannya menoleransi beradanya kebaikan yang hebat (powerful) dan penting, yang terselenggara di luar jangkauan kontrolnya. Kedengkian atau envy ini sedemikian jahat, karena ia menyerang dan menghancurkan kebaikan, good breast. Melanie Klein mempertimbangkan pengaruh kendara (drive) agresif bawaan yang terlalu kuat pada keterjadian keirihatian yang mengerikan. Iri hati ini bukan menyerang keburukan seperti yang terjadi pada konteks splitting dalam posisi paranoid-skizoid. Kecemburuan dan kedengkian menafikan (undo) mekanisme splitting, melompati tapal batas yang memisahkan kebaikan dan keburukan, dan dengan demikian meniadakan pengharapan. Psikoanalis mazhab relasional, Stephen Mitchell (1988) berpendapat bahwa envy ada kalanya dapat dipandang sebagai respons anak terhadap pengasuhan (parenting) yang secara dramatis tidak konsisten, yang membuat anak mengalami betapa pengharapan untuk terejawantahnya tanggapan yang secara afektif tepat dan cinta kasih, sering berakhir sangat mengecewakan.

Pasien yang iri terhadap terapisnya dapat mengalami kesulitan meneruskan terapi, terutama tatkala terapis menyampaikan interpretasi yang bagus dan benar kepadanya. Peristiwa yang penuh kebaikan ini membangkitkan envy pada pasien. Ia mungkin mengangguk-angguk dan mengagumi terapis dan interpretasinya. Namun dia menyingkirkan kedua-duanya dari kehidupannya dengan cara tidak mempertimbangkan interpretasi itu sama sekali, dan secara sepihak mengakhiri terapi. Kecemburuan juga dapat hadir sebagai simtom bulimik yang meningkat pada pasien bulimia nervosa, justru setiap kali sesudah sesi yang memberinya pengalaman keterhubungan yang bermakna dengan terapisnya, atau setelah terapis pada suatu sesi menyampaikan interpretasi yang bagus dan benar. Pengalaman yang baik ini membangkitkan kedengkian, kecemasan, yang mendorongnya sewaktu pulang dari sesi terapi untuk membeli es krim dan kue yang enak, sebanyak-banyaknya. Ia menyantap seluruh makanan itu tetapi kemudian memuntahkannya habis-habisan. Keadaan anxiety itu hanya dapat terlerai oleh penghayatan bahwa perut dan seluruh tubuhnya telah dapat dikosongkan dari “kebaikan sang terapis”.

Betapa pentingnya “menunda menginterpretasikan”. Ketika pemahaman tentang pasien belum mencukupi, sesungguhnya tiada otoritas apa pun pada terapis untuk menginterpretasi. Memahami itu selalu memakan waktu. Kurun waktu dalam deret sesi psikoterapi yang dijalani tanpa menafsirkan, dapat merupakan keleluasaan bagi pasien yang diresapi envy untuk belajar sendiri melerainya. Sembari ia menghayati kerendahhatian terapis yang dalam kejujuran dan genuiness, secara implisit dan nirkata mengakui bahwa dirinya tidak memiliki kewibawaan buat menginterpretasi.

(Limas Sutanto)