Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Berita Tentang “Yang Nirsadar”

Di sudut sebuah halaman koran Kompas terbitan 10 Januari 2025, termuat berita bercorak jenaka tetapi mengungkap peran determinatif bahasa dalam proses mental nirsadar. Diceritakan, dalam sebuah persidangan di Mahkamah Konstitusi, seorang kuasa hukum, Sulaisi, dari Sumenep, Madura, terlibat tanya-jawab dengan hakim konstitusi Saldi Isra yang berasal dari Padang, Sumatra Barat.

Kata Sulaisi menanggapi Saldi yang semestinya dalam persidangan dipanggil “Yang Mulia”: “Bagaimana Kiai?”

Respons Saldi: “Saya bukan kiai. Bagaimana ini. Kalau jadi kiai, susah saya, he he he…” Dia pun lantas meminta Sulaisi untuk tidak lagi memanggil dirinya Kiai. Namun, apa yang terjadi? Dalam percakapan kemudian di persidangan itu, kuasa hukum itu kembali memanggil Yang Mulia Hakim Konstitusi, itu, dengan sebutan Kiai.

Kata Jacques Lacan, ego atau self maupun relasi dengan obyek bukanlah penentu utama proses mental nirsadar. Yang determinatif adalah bahasa. Dengan keras cendekiawan Perancis ini menyebut teori ego psychology sebagai the psychology of a social construction, dan menggambarkan teori object relations sebagai a psychology of interpersonal fictions. Hal-ihwal ego maupun relasi, bagi Lacan hanyalah suatu mirage, atau semacam optical illusion, mungkin fatamorgana, yang mengesankan sebuah kesejatian tetapi sesungguhnya bukan. Kedua teori besar itu tidak menguraikan substansi yang diolah oleh Freud dalam psikoanalisis, yaitu tentang peran yang nirsadar dalam proses mental.

Mengulang lagi menggunakan kata “kiai” pada suatu konteks yang sudah disadari tidak tepat, seperti menerangkan pengaruh yang kuat “yang nirsadar”, yang melampaui “yang sadar”, yang diperankan oleh bahasa. Bahasa, bagi seorang manusia, sudah mendahuluinya (predate) bahkan sejak ia belum lahir. Bahasa mengorganisasi , meregulasi, dan mensimbolisasi subyektivitas (penampilan, perilaku, kebiasaan) manusia dalam kehidupannya yang lazim hari demi hari. Maka yang terasa dan terhayati darinya dalam segala kelaziman sehari-hari bukanlah “Subyektivitas yang Sejati”. Hal terakhir ini terbenam di balik kelaziman sehari-hari yang tampak, suatu fatamorgana yang dapat membuat liyan dan terapis secara salah mengira bahwa yang tampak sehari-hari itu adalah yang sejati.

Lacan bercita-cita membantu membongkar, mendekonstruksi, mensubversi mirage atau fatamorgana itu, agar Subyektivitas yang Sejati lebih berperan dalam kehidupan manusia. Ia meyakini bahwa kehidupan yang demikian, itu, sifatnya lebih kreatif, revitalizing, dan transindividual, lebih memungkinkan manusia individual bahagia dalam dirinya di tengah apresiasinya terhadap orang-orang lain dan masyarakat beserta kaidah-kaidah dan budayanya.