Manusia membutuhkan liyan (others) yang rela sejalan dengannya. “Diri”, ego, dan self, masing-masing terkait dengan periode kesejarahannya sendiri, tidak serta merta mengusung gagasan yang sama. Namun ketiga-tiganya mewakili suatu perasaan atau penghayatan pada manusia, bahwa ia ada. Rasa “ada” ini disertai rasa “punya kuasa, dapat mengontrol”, betapapun nisbinya. Carolyn Ellman dan Joseph Reppen, dalam Fantasies and the Vulnerable Self (1997), membahas betapa keberadaan manusia tidak lepas dari fantasies of omnipotence, mimpi serba berkuasa, yang ia perlukan karena sejak lahir tak berdaya dan mengalami bergantung pada pihak lain untuk dapat melanjutkan kehidupan. Tindakan berulang melukai tubuh secara terbatas, yang dilakukan oleh seorang perempuan yang meminta bantuan psikiater, dapat menjadi penggelaran pengalaman “diriku ada, punya kuasa atas diri sendiri”, yang diperlukan untuk sejenak menepis derita dari “diriku tiada dan semuanya hanya hampa”.
Perkara ini sudah dibahas oleh Sigmund Freud dalam Introductory Lectures on Psychoanalysis yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1917. “Where ‘id’ was, there ‘ego’ shall be”, ungkap Freud. Pelopor psikoanalisis itu menggunakan kata “id”, bukan Ich dalam Bahasa Ibu beliau, karena ia bermaksud mengemukakan ihwal “orang hadir dengan biologinya”. Maka, “Where id was, there ego shall be” artinya: setiap kali manusia dengan biologinya hadir, di sana terjadi upaya menjadikan diri “ada”; diri yang betapapun relatifnya memiliki sebagian dari kuasa. Jacques Lacan pada tahun 1966 mengucap-ulangkan ungkapan Freud. Kata Lacan: “Where ‘it’ was, there shall ‘I’ be”. Diksi “I” tidak jauh dari “diri” dalam Bahasa Indonesia.
Perempuan dalam usia awal tiga puluhan tahun itu mungkin “terancam kehilangan ego”. Atau tidak meraih self yang mantap. Rentan dan rapuhnya self pada pasien ini pun seperti dinyatakan dalam gejala “merasakan dirinya ada dua, atau mengandung dua sisi, dua hal, yang berbeda, tidak koheren, tak sejalan, yang bisa menjadi berlawanan satu sama lain; satu mendukung dan lainnya mencerca”. Sang ibu, pengasuh utama, menduduki diri anaknya, sampai hampir tidak “ada” lagi. Ibu yang dominan itu menggunakan diri anaknya untuk mewujudnyatakan keinginan, cita-cita, impian, bahkan menyalurkan masalahnya sendiri. Allan Schore (1994) mengulas keadaan seperti ini sebagai salah satu trauma perpautan (attachment trauma) yang paling parah. Neuropsikoanalis ini menyebut kondisi ini sebagai abuse, yang bersama neglect merupakan dua jenis trauma terberat.
Cikal bakal “diri” adalah suatu fantasy (Grossman, 1982), atau suatu wish-fulfilling belief (Schafer, 1976), yang alamiah saja terdapat dalam kehidupan manusia, bahkan sejak masa belia. Bukankah “id” memang mengulum mimpi, keinginan, yang tidak realistis? Pada pemikiran-pemikiran ini, hingga konsep ego-nya Freud, “diri” dianggap berkembang dalam si manusia seorang, di dalam psike seseorang, intrapsikis. Namun Georg Hegel, seputar seabad sebelum Freud, sudah memulai dengan pandangan maju bahwa “diri” hanya menjadi ada dan bertumbuh kembang karena ia bersama liyan. Ia bukan intrapsikis melainkan relasional, interpersonal, intersubjektif. Para pelopor yang melanjutkan Freud, antara lain Melanie Klein (1932) dan Donald Winnicott (1956) mengetengahkan teori-teori object relations, dan Heinz Kohut (1970) mempresentasikan “psikologi psikoanalitik tentang self”, mereka meyakini betapa “diri” manusia ada dan bertumbuh kembang dalam relasi dengan liyan yang mau sejalan dengannya, memvalidasi dia, me-mirror segenap perasaan dan pengalamannya. John Bowlby (1969; 1972; 1980) melukiskan “diri” menjadi ada dan bertumbuh kembang dalam naungan relasi perpautan aman, secure attachment relationships, antara bayi atau anak dengan pengasuh utamanya yang mampu dan telaten meregulasi afeknya yang mengancam dirinya yang rentan. Lantas, Allan Schore, dkk. (1994; 2020) melukiskan “psikologi dua insan”, two-person psychology, sebagai paradigma yang mengutamakan peran relasi dekat dua insan dalam pusaran kehidupan psikologis manusia, antara lain ditandai sinkronisasi hemisferium kanan seseorang dan hemisferium kanan liyan.
Bagi penulis, membantu perempuan yang menderita itu dalam psikoterapi, terutama adalah memasuki jalan afektif yang ditapakinya, di sana mendayagunakan peluang untuk mengejawantahkan pengalaman dalam relasi dua orang—pasien dan terapis— yang menumbuhkembangkan dan menguatkan self. Terutama mirroring, terutama sekali untuk pengalaman-pengalaman emosionalnya. (Limas Sutanto)
Psikiater memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sebuah kasus hukum, baik untuk membuat visum et repertum maupun sebagai saksi ahli. Psikiater yang mengkhususkan diri pada hal tersebut, disebut psikiater forensik atau konsultan forensik. #psikiater #forensik #pdskji #pdskjiindonesia #dokter #kasushukum #kesehatan #kesehatanmental #pengadilan #dokterspesialis
https://www.instagram.com/reel/Cqt5XUiO4Ug/?igshid=MDJmNzVkMjY=Paradigma pengobatan skizofrenia saat ini telah bergeser, termasuk pemilihan terapi antipsikotik injeksi atau disebut atypical antipsychotic long-acting injectable (aLAI). Yuk, ikuti e-Course CEGAH KAMBUH SKIZOFRENIA terbaru untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan orang dengan skizofrenia! GRATIS! Dapatkan 6 SKP IDI serta Sertifikat PDSKJI Tanpa biaya! e-Course ini dipersembahkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) bekerja sama dengan Alomedika serta didukung sepenuhnya oleh Johnson & Johnson.
KLIK link ini! https://alomedika.onelink.me/qZen/9216422506 Februari 2025 - Mari siapkan diri untuk agenda ilmiah Psikiatri Anak & Remaja paling dinanti! Departe...Readmore »
Copyright © 2014 - PDSKJI - All rights reserved. Powered By Permata Technology