Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Psikoterapi Otak Kanan (Part 2)

Psikoterapi adalah sinkronisasi dua subjek, yang terutama melibatkan kedua hemisferium kanan mereka. Peristiwa ini berlangsung dalam relasi komunikatif emosional, timbal balik, nirkata dan lebih terkait dengan ekspresi-ekspresi manusiawi melalui wajah dan tubuh (facial visual), suara dan irama (crescendos dan decrescendos) di seputar pengucapan kata-kata (auditory prosodic), dan pengalaman badaniah sepanjang komunikasi (tactile gestural),dengan time frames yang sangat cepat. Tatkala pengartiannya demikian, timbullah keperluan akan data dari neuroimaging yang dilakukan pada saat relasi kedua otak kanan berlangsung.

Sejak awal Abad XXI berbagai metodologi hyperscanning, semisal near-infrared spectroscopy (NIRS), functional magnetic resonance imaging (fMRI), dan dual magneto-encephalography, telah membantu melaksanakan pencitraan otak simultan pada dua individu yang berkomunikasi tatap muka. Interaksi sosial yang melibatkan relasi dua hemisferium sepasang manusia dapat diambil citranya pada saat ia berlangsung. Sementara ini, penelitian Dumas, dkk. (2010; 2011) tentang sinkronisasi antarhemisferium kanan dalam relasi sosial, dan riset Zhang, dkk. (2018; 2020) mengenai sinkronisasi otak interpersonal yang terjadi selama berlangsungnya aliansi terapeutik dalam psikoterapi, dapat digolongkan sebagai penelitian-penelitian pelopor yang memberikan bukti-bukti tentang sinkronisasi dua otak kanan yang berlangsung dalam psikoterapi yang efektif.

Dumas, dkk. menemukan sinkronisasi kedua belahan otak kanan, terutama pada regio centroparietale dextra yang dalam neurosains dikenal sebagai bagian otak yang berperan penting dalam menyokong fungsi koordinasi sosial; dan pada daerah persambungan lobus parietalis dextra dan lobus temporalis dextra (right temporoparietal junction; acap kali disingkat TPJ). Daerah TPJ memang biasanya mengalami aktivitasi ketika berlangsung interaksi sosial dan tatkala relasionalitas dua insan ditandai perlangsungan pemahaman yang empatik, nirsadar. Penelitian Zhang, dkk. (2018) yang dipublikasi melalui Psychiatry Research Imaging (2018; 282: 103-9) merupakan studi hyperscanning pertama yang merekam secara simultan otak pasien dan otak terapis ketika kedua-duanya terlibat dalam psikoterapi tatap muka langsung di laboratorium.

Studi yang menggunakan teknologi hyperscanning pada dasarnya mengabarkan tentang karakteristik psikoterapi yang sungguh membuahkan sinkronisasi hemisferium kanan pasien dan hemisferium kanan terapis, yang kemudian dikenali sebagai psikoterapi yang efektif. Penulis akan sekadar memerinci dan meringkaskannya saja agar ciri-ciri itu dapat dikenali dengan jelas, dan kemudian mereka yang berminat dapat mengembangkan tindak lanjut sendiri, baik dalam studi pustaka, penelitian, maupun praksis terapi.

Pertama, psikoterapi menjadi kurun waktu perjumpaan pasien dan terapis yang menumbuhkembangkan aliansi terapeutik. Faktor relasi terapeutik menjadi hal utama dalam psikoterapi yang efektif. Teknik-teknik mungkin merupakan hal yang penting pula, tetapi mereka tidak melampaui pentingnya aliansi atau relasi terapeutik. Bahkan seyogianya setiap teknik digunakan, atau tidak digunakan, atas dasar pertimbangan yang lahir di tengah relasionalitas terapis dan pasien. Bisa dikatakan, teknik niscaya menyusuli aliansi, tidak sebaliknya. Atau teknik dipilih dan dilaksanakan dalam sesi terapi atas dasar relasi, bukan sebaliknya. Prinsip ini dengan sendirinya mengatasi pemaksaan Procrustean yang tidak boleh terjadi dalam terapi.

Kedua, psikoterapis berfokus secara empatik pada keadaan-keadaan emosional pasien.

Ketiga, dalam terapi berlangsung komunikasi timbal balik antara pasien dan terapis, kedua-duanya baku memerhatikan isyarat-isyarat nirkata, ekspresi wajah dan gestur dari masing-masing. Dalam hal ini, terutama sang terapis mengejawantahkan perhatian yang saksama, saat demi saat, terhadap ekspresi emosional dan postur tubuh pasien, dan memberikan umpan balik emosional yang relevan kepada pasien.

Keempat, dalam terapi berlangsung hubungan afektif atau emotional bond dan perpautan personal yang positif antara pasien dan terapis. Kolaborasi pasien dan terapis merupakan hal yang hakiki.

Kelima, sinkronisasi hemisferium kanan pasien dan hemisferium kanan terapis, yang sesungguhnya adalah kesejajaran (alignment) aktivitas metabolik fisiologis kedua otak, berlangsung makin kuat seiring dengan lebih tingginya “jam terbang” terapis. Keterampilan psikoterapi merupakan hal yang dapat dipelajari, dilatihkan, dialami; seiring dengan bergulirnya ketiga peristiwa ini, terapis akan kian mampu membantu pasien-pasiennya.

Dapat disimpulkan saat ini betapa psikoterapi adalah aktivitas relasional yang lebih melibatkan emosi dan otak kanan daripada melibatkan kognisi dan otak kiri. Terjadi pergeseran paradigma dalam psikoterapi, dari paradigma “kognisi, sadar” ke paradigma “afek, nirsadar”. Perubahan paradigma dalam psikoterapi, bahkan dalam psikologi pada umumnya, ditandai oleh pandangan tentang psike manusia yang semula condong dimaknai sebagai keberadaan seorang diri (one person intrapsychic) menjadi pemahaman atas psike individu senantiasa sebagai keberadaan di tengah relasi dengan liyan (two-person interpersonal). Psikologi itu pada dasarnya adalah sebuah “psikologi dua insan” (a two-person psychology), bukan suatu “psikologi satu orang” (a one-person psychology). Kolaborasi antarmanusia adalah keniscayaan, untuk perwujudan dan pertumbuhkembangan kehidupan semesta yang lebih baik, dan untuk perdamaian.