Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Psikoterapi di Abad XXI

Setelah kurun waktu dua hingga tiga abad, kini humanisme diguncang. Ideologi utama yang berada di jantung teori dan pelayanan psikoterapeutik itu digusur oleh dataisme kontemporer. Abad XXI ditandai kehadiran kemampuan manusia yang luar biasa dahsyat dalam meraih data karena bantuan teknologi yang memungkinkannya. Pada saat yang sama kemampuan manusia untuk mengolah data jauh dilampaui oleh kapasitas mesin artificial intelligence yang tidak terbatas dan berkemampuan sangat cepat dalam melakukan analisis. Infotech dan biotech yang sebelumnya berkembang terpisah, kini berpadu, menghasilkan kemungkinan pemanenan data, data harvesting, tentang biologi dan psikologi manusia secara tanpa batas, sekaligus analisis terhadap data yang sangat lengkap itu dengan kecepatan dan ketelitian yang sangat tinggi.

Aplikasi-aplikasi media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, dll., menjadi bernilai tinggi bukan karena kecanggihan mereka dalam berperan menghubung-hubungkan orang, melainkan karena mereka adalah pengumpul data yang berlimpah tentang setiap insan pengguna. Himpunan data dan kebiasaan ini adalah bahan dasar tersederhana dari konstruksi algoritme individu. Maka sejarawan Yuval Noah Harari dalam sebuah kuliahnya belum lama ini menyebut manusia pada hari kini adalah the hackable animal, “makhluk yang dapat dan mudah diretas”. Tatkala membaca pada layar Kindle, setiap perubahan afektif pada manusia berkemungkinan untuk dapat dicatat sebagai data, karena layar itu akan mengejawantahkan teknologi face microrecognition. Untuk pertama kali bahan bacaan dapat berbalik membaca manusia, bahkan membaca dan mendatakan aspek-aspek emosional yang selama ini merupakan ranah yang sulit dipahami oleh sesama manusia. Hadirnya teknologi biometrical sensor yang akan dapat menerobos permukaan tubuh dan mengetahui apa yang terjadi di dalamnya, makin membuat pengetahuan tentang manusia begitu terperinci.

Semua ini menandai berpindahnya locus of control. Dalam naungan humanisme, diyakini betapa otoritas terdapat pada manusia, pada self yang memiliki afek yang mampu merasakan dengan tepat. Kendatipun dibayang-bayangi integrasi information technology dan biological technology, sebagian dari para filsuf hari kini mengerti betapa afek, human feeling, yang bebas, adalah algoritme luar biasa canggih, buah dari natural selection berabad-abad, yang mampu meraih data untuk mendukung proses memikir dan berbuat yang tepat dan relevan, semuanya dilaksanakan hanya dalam kurun waktu berhitungan milidetik. Namun pemanen data alamiah yang wajarnya merupakan unsur hakiki self, pribadi manusia, ini di abad kini akan makin digusur oleh mesin kecerdasan buatan dan sensor yang dapat menangkap data di permukaan tubuh maupun data tentang perincian perubahan yang berlangsung di dalam badan. Kapabilitas kedua instrumen yang amat jauh melampaui kemampuan manusiawi, menjanjikan kinerja yang amat lebih tinggi daripada yang dapat dilakukan oleh manusia, bahkan oleh insan pemenang Nobel, pelopor sains, guru besar terkemuka, dan psikoanalis tersohor sekalipun. Apa yang dapat dikerjakan oleh manusia psikoterapis yang banyak berlatih mengerti liyan dengan mendayagunakan seluruh tubuh dan eksistensinya pun akan dengan amat gampang dikerjakan oleh perangkat teknologis Abad XXI, dengan kuantitas dan kualitas hasil yang jauh lebih tinggi, besar, dan tepat.

Keadaan ini tidak dapat dihadapi dengan sekadar argumen simplistik bahwa di mana pun dan kapan pun manusia, pasien, membutuhkan keterhubungan dengan sesama manusia. Atau bahwa pengalaman puncak keterhubungan, yang oleh Bowlby disebut attachment, atau perpautan, tidak akan tersubstitusi oleh teknologi apa pun. Kehadiran perangkat teknologis setelah menjadi banal akan senantiasa menyelinap ke dalam khazanah mental, sebuah proses gradual but consistent yang nirsadar, mengubah otak dan menciptakan kebutuhan, bahkan ketergantungan, untuk menggunakannya; teknologi itu tidak sepenuhnya berkarakter indeterministic.

Mungkin yang dapat menyelamatkan human adalah kenyataan bahwa ia memiliki consciousness, yang dalam hakikatnya adalah “kemampuan buat merasakan dan menanggapi penderitaan”. Kesadaran ini dimiliki oleh manusia dan berbagai makhluk hidup tetapi tidak dipunyai oleh mesin yang mana pun. Orang mampu menderita dan mesin tidak. Dan salah satu penderitaan terbesar adalah hilangnya atau tereduksinya self karena diambilnya otoritas afektif oleh teknologi Abad XXI. Penderitaan adalah pangkal tindakan etis dan politis untuk menolak proses pembuatan keputusan yang berpindah dari the affective self  ke artificial intelligence dan sensor pemanen data teramat canggih. AI dan biometrical sensor keberadaannya tidak dapat ditolak, tetapi keputusan etis dan politis manusia niscaya menempatkan mereka sebagai peranti-peranti yang membantu proses relasional terapeutik antarinsan, antara pasien dan manusia terapis. Dengan demikian, psikoterapi relasional yang human diuntungkan oleh data harvesting and analysing yang berlimpah, cepat, akurat, dan tepat, yang akan dilakukan oleh mesin berteknologi supercanggih. Pada abad ini psikoterapi akan dilakukan sebagai pengalaman relasional terapeutik yang berbasis data berlimpah dan akurat yang peraihannya dilakukan dengan bantuan teknologi pemanen dan penganalisis data canggih yang senantiasa kian menjadi lebih canggih. Manusia menggunakan teknologi, bukan sebaliknya. Namun dalil terakhir ini amat memerlukan keputusan etis dan politis yang dilakukan dengan kesadaran yang sepenuhnya. Ini hal sulit yang tak jarang tidak terjadi.

(1 Maret 2023, Limas Sutanto)