Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Strategi Psikoanalitik Untuk Praktik Psikiatrik Yang Lebih Terapeutik

 

Dr. Sylvia D. Elvira,SpKJ(K) - Seksi Psikoterapi PDSKJI

Pendahuluan

Sebagai profesional dalam bidang kesehatan, psikiater mempunyai bekal yang agak berbeda dari spesialis lain dalam melakukan praktik kedokteran dan pertolongan pasien, yaitu selain keilmuan dan ketrampilan yang dipelajari, kepribadian juga merupakan potensi yang diandalkan dalam praktik. Kepribadian menjadi sangat penting karena proses pertolongan pasien dilakukan dengan wawancara dan observasi, sehingga tolok ukur hasil pemeriksaan, pengobatan serta evaluasi pasien menggunakan “pribadi” sang dokter.

Berkaitan dengan kondisi tersebut, disertai dengan belum ditemukannya etiologi yang pasti gangguan jiwa, maka pendekatan biopsikososial dan eklektik-holistik masih digunakan hingga kini; oleh karena itu pendekatan dan terapi psikologis tetap berperan penting dalam pertolongan pasien selain pemberian psikofarmaka. Untuk dapat melakukan terapi psikologis, seorang calon psikiater dibekali dengan teori dan latihan ketrampilan melakukan psikoterapi; dan karena tolok ukur untuk penegakan diagnosis dan terapi adalah pribadi sang dokter, maka seorang calon psikiater harus memahami diri sendiri sebelum melakukan terapi terhadap pasien.

Dalam upaya memahami diri sendiri untuk kepentingan terapi, seorang calon psikiater diberi bekal teori serta praktik psikoterapi dan psikoanalisis. Merujuk kepada Katalog dan Kurikulum Pendidikan dokter spesialis kedokteran jiwa Indonesia (tahun 2013), pendidikan psikoterapi bagi calon spesialis yang diberikan berupa: teori psikoanalisis, teori dan praktik psikoterapi berorientasi analitik, serta pelbagai psikoterapi lainnya (a.l. Gestalt, analisis transaksional, hypnosis)1. Teori psikoanalisis diberikan agar calon psikiater memahami psikopatologi dan kepribadian pasien, agar dapat memberikan pertolongan secara tepat; namun, sebelum memberikan terapi kepada pasien, calon psikiater dibimbing untuk lebih memahami diri sendiri pada saat praktik psikoterapi berorientasi analitik; oleh karena itu, pemahaman teori psikoanalisis penting sebagai dasar melakukan psikoterapi dinamik (berorientasi analitik). (Catatan: psikoterapi jenis yang lain juga penting, namun dalam hal pemahaman diri dan pasien, calon psikiater harus memahami teori psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi analitik).

Di samping itu, kemajuan dalam riset neuroscience, ternyata selaras dengan hal ini. Telah diketahui bahwa ada neuroplastisitas, serta dari penelitian imaging diketahui bahwa psikoterapi  dapat mengubah struktur dan fungsi otak, Hal ini berarti bahwa setiap perubahan pada proses psikologis, dicerminkan oleh perubahan-perubahan fungsi-fungsi atau struktur-struktur pada otak. Para penganut reduksionistis tidak memercayai hal ini walaupun sudah ada bukti bahwa pengalaman-pengalaman subyektif itu memengaruhi otak2.Hal ini membawa era baru bagi penelitian dan praktik psikoterapi, yang nantinya, model atau cara psikoterapi spesifik atau tertentu dapat dirancang untuk menarget tempat berfungsinya bagian tertentu di otak2,3. Kenyataan ini menambah dukungan bahwa sebagai psikiater kita layaknya memahami pasien agar dapat memberikan pertolongan yang tepat, yang sebelumnya didahului dengan memahami diri sendiri agar pertolongan dapat diberikan secara optimal, bersifat terapeutik, atau minimal tidak merugikan pasien. Untuk itulah sebagai psikiater, kita diberi bekal teori psikoanalisis serta teori dan praktek psikoterapi berorientasi analitik.

 

Psikoanalisis dan psikoterapi

There are many ways to treat neuroses but there is only one way to understand them.”(Fenichel O, 1945).Kalimat tersebut menjelaskan bahwa dalam memberikan terapi untuk pasien, dapat dipilih jenis psikoterapi apapun, namun untuk memahaminya, hanya ada satu cara yaitu dengan memahami teori psikoanalisis.Psikoanalisis merupakan suatu fenomena yang dapat ditinjau dan berfungsi sebagai teori psikologi (disebut metapsikologi), metode terapi serta filosofi sosial.  Istilah “psikoanalisis”, dapat pula dimaknai sebagai suatu bentuk eksplorasi psikologisself yang intensif dan jangka panjang, yang dapat digunakan untuk terapi pasien-pasien neurosis dan gangguan kepribadian. Sebagian ahli berpendapat bahwa “psikoanalisis” merupakan jenis khusus dari psikoterapi jangka panjang.

Dalam kaitan dengan profesi psikiater, psikoanalisis sebagai metapsikologi dan intervensi klinis telah berkembang secara bermakna beberapa dekade terakhir.  Psikoanalisis juga merupakan landasan dari psikoterapi, terutama psikoterapi berorientasi analitik dan walau aturan dan prosedurnya tidak lagi ditaati secara utuh, prinsip-prinsipnya tetap digunakan dalam pelbagai jenis psikoterapi baik yang dinamik maupun non dinamik.Memang belum berbasis bukti bahwa metode ini lebih unggul dari intervensi psikologis lain, namun beberapa prinsip dan strateginya dapat digunakan dalam praktik psikiatri. Dalam praktik psikiatri, terdapat beberapa prinsip dan strategi lain dari psikoanalisis yang tetap dapat digunakan dalam psikoterapi (apapun jenis psikoterapinya), a.l. dalam membina rapport, memberi kebebasan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya.

Teknik psikoanalisis

Dalam menggunakan psikoanalisis sebagai terapi - menurut Freud - hendaknya kita memerhitungkan:

  1. Individu analis, faktor konstitusi serta sikapnya (attitudes).
  2. Kepribadian pasien, termasuk gangguan yang dialami serta kecenderungan instinktualnya.
  3. Tugas analisis terhadap pasien itu sendiri 

Menurut Freud, hal yang mendasar pada psikoanalisis, yaitu senantiasa menyangkut alam nirsadar, transferensi serta resistensi. Teknik psikoanalisis Freud (psikoanalisis klasik), juga mensyaratkan frekuensi sesi (6 kali dalam seminggu) serta penggunaan sofa dalam proses analisis; memerlukan pula abstinensia, netralitas, serta pembatasan umur pasien (antara 18-45tahun adalah yang ideal); namun Freud juga tidak menuntut akan keberterimaan teknik ini tanpa syarat, artinya kita sebaiknya bisa bersikap lentur (flexible); hal ini sesuai dengan plastisitas proses mental yang harus diperhitungkan dalam menerapkan teknik4.

Teori psikoanalisis berkembang terus pasca Freud. Karena ternyata teori klasik tidak universal – yaitu tidak dapat digunakan untuk menjelaskan semua kasus - (misalnya untuk menjelaskan psikodinamik gangguan kepribadian ambang, lebih cocok digunakan teori relasi obyek), sehingga digunakanlah dasar teori-teori lainnya, yaitu teori psikologi ego dan relasi obyek (dengan tokoh Heinz Hartmann, Anna Freud, Melani Klein, Donald W. Winnicott, Margaret Mahler), lalu psikologi self (Karen Horney, Heinz Kohut, Otto Kernberg, dll) serta postmodern. Walau kemudian banyak teori yang lahir pasca psikoanalisis klasik tersebut, namun sebagai terapi, tidak banyak teknik yang berubah; hanya setting yang mungkin tidak selalu dengan sofa dan pasien membelakangi analis. Teknik yang tetap digunakan yaitu interpretasi (terdiri atas interpretasi karakter, interpretasi transferensi serta interpretasi konflik – atau relasi obyek erta self-nya) dan asosiasi bebas.

Psikoanalisis kemudian terus berkembang dan sudah diterima di kalangan medis, bahkan psikoanalisis kontemporer merupakan kerjasama psikoanalisis dengan neuroscience (disebut sebagai neuropsychoanalysis), merupakan bidang yang menonjol di Eropa dan Afrika Selatan).

Bersamaan dengan itu, psikoterapi dinamik atau berorientasi analitik yang kemudian dikenal sebagai anak atau keturunan psikoanalisis, juga berkembang pesat, disertai dengan penelitian-penelitian yang banyak dilakukan (sebagaimana disebutkan sebelumnya).Psikoterapi dinamik kemudian dikenal sebagai versi modifikasi dari psikoanalisis, karena bukan hanya psikoanalisis yng menjadi orangtuanya, melainkan juga psikiatri umum, neuroscience, biologi, farmakologi, serta teori-teori psikologi lainnya. Dengan demikian, dapat dimengerti adalah wajar bila prinsip-prinsip psikoanalisis tetap dipakai dalam psikoterapi dinamik, walau tidak secara kaku dipatuhi, hanya sebagian yang diambil, namun diperkembangkan dengan menambah perasat-perasat lain yang dirasakan diperlukan oleh pelbagai macam tipe pasien yang kian bervariasi (misalnya: a). frekuensi sesi terapi diperkenankan hanya satu hingga dua kali per minggu, bahkan masih memungkinkan satu kali dalam dua minggu, b).settingtidak harus dengan sofa, namun boleh dengan setting dokter-pasien atau satu set kursi tamu, c).  usia pasien tidak dibatasi hanya antara 18 hingga 45 tahun, namun boleh lebih muda hingga lebih tua dari 45 tahun, d). terapis tidak harus berperan sebagai layar kosong (blank screen); karena kepribadian terapis dan pengalaman-pengalaman  hidupnya justru dapat digunakan sebagai tolok ukur fenomena-fenomena jiwa yang dialami pasien, e). perasat yang digunakan sebagai alat terapi bukan hanya interpretasi, namun ada beberapa yang lain, a.l. konfrontasi, klarifikasi, encouragement to elaborate, validasi empatik, nasihat dan pujian serta afirmasi.

 

Aplikasi psikoanalisis dalam praktik psikiatri

Salah satu aspek psikoanalisis yang dapat dimanfaatkan dalam praktik psikiatri klinis, yaitu bahwa menurut teori ini, relasi yang mendalam dan akrab antara analis dan yang dianalisis, akan membentuk lingkungan aman yang akan memfasilitasi pertumbuhan psikologis dalam banyak aspek. Hal ini memungkinkan seseorang membentuk kembali dunia representasinya.

Tujuan psikoanalisis sebagai terapi yaitu membentuk ulang struktur (restructuring) alam nirsadar pasien, sehingga  perasaan-perasaan yang dialami sebelumnya dapat berubah (termasuk motivasi dan emosinya, akan lebih ke arah positif sedemikian rupa), dengan demikian memungkinkan terjadinya pertumbuhan dan adaptasi yang konstruktif dan kreatif. Sebagaimana otak yang dapat mengalami neuroplastisitas, demikian pula psike kita6.      

Dengan psike atau jiwa seseorang yang dapat diubah – sesuai dengan neuroplastisitas dan kelenturan jiwa itu – harapan untuk membantu pasien yang mengalami ketidaserasian atau kegentingan jiwa menjadi lebih besar.Sebagai psikiater yang berkecimpung di klinis – yang ingin segera mengurangi penderitaan pasien – pemahaman strategi psikoterapi dinamik dan psikoanalisis amat penting dikuasai. Adapun strategi psikoanalisis yang dapat digunakan dalam praktik psikiatri agar pertolongan lebih efisien dan efektif, antara lain:

  1. Dalam membentuk rapport :ini merupakan kunci awal keberhasilan terapi; yang dilakukan adalah dengan melakukan observasi yang tajam pada tiga menit pertama pada sesi pertama; pada saat ini pasien masih tampil apa adanya (karena selanjutnya ia akan menggunakan pelbagai mekanisme defensi yang digunakan selama ini). Dari observasi yang tajam dapat diperoleh banyak data, a.l. perkiraan bagaimana pasien ingin menampilkan dirinya (sadar dan nirsadar), kalangan pendidikan, status sosial serta latar belakang budaya, perkiraan problem yang dihadapinya (apakah ringan, sedang atau berat); semua data yang diperoleh dari impresi pertama terapis dapat digunakan sebagai data awal untuk melakukan anamnesis sebagai alat penegakan diagnosis sekaligus alat terapi. Dengan perkiraan data yang diperoleh, sebagai psikiater kita akan berhati-hati dalam bertanya (karena sebetulnya bertanya dalam pemeriksaan klinis merupkan konfirmasi dari hal-hal yang telah ada dalam benak psikiater).
  2. Dalam membentuk aliansi terapeutik, yaitu agar tujuan teraapi tercapai dengan kerjasama pasien baik dalam mengkonsumsi obat maupun dalam proses psikoterapi; ini pun merupakan kunci keberhasilan terapi (tanpa adanya aliansi terapeutik ini, tak mungkin terapi akan berlangsung). Strategi psikoanalisis yang digunakan selain observasi juga sikap hangat (affectionate), akrab (friendly) dan percaya (sebagaimana yang ditulis oleh Freud pada tahun 1912)11 Aliansi terapeutik ini dapat terbentuk, tergantung dari kapasitas pasien untuk tetap kooperatif, tingkat resistensi serta kemamapuan membentuk transferensi.Terdapat tiga komponen dalam aliansi terapeutik, yaitu tujuan, tugas (tasks) dan ikatan (bonds). Pasien dan psikiater harus sama-sama menyetujui tujuan yang ingin dicapai dalam terapi. Juga harus harus saling setuju tentang tugas-tugas terapeutik dalam rangka mencapai tujuan terapi. Akhirnya ikatan yang dibentuk antara pasien dan psikiater dalam mencapai tujuan terdiri atas kelekatan (attachment) yang positif, yang menstimulasi rasa percaya dan kepercayaan diri11.
  3. Dalam working through dan terminasi:

Dalam proses terapi, terlebih pasien yang memerlukan kooperasi jangka panjang (mis. pasien dengan gangguan afektif bipolar, skizofrenia, gangguan Kepribadian) yang memerlukan psikofarmaka sepanjang waktu, kunci dari fase workingthrough ini adalah kepiawaian psikiater mengelola resistensi, baik pada pasien maupun pada psikiater sendiri. Pada fase ini pasien merasakan bahwa the workingthrough dengan psikiaternya yang merupakan obyek baru yang mencerminkan relasinya sejak masa kanak hingga relasinya saat ini di luar terapi.

 

Pada saat yang sama kita memersiapkan terminasi terapi, yang bertujuan agar pasien menjadi agen atau mempunyai autoritas dalam kehidupannya.

Rangkuman

-       Psikoanalisis layak dipelajari karena memfasilitasi psikiater dalam memahami pasien dan diri sendiri.

-       Bukti riset neuroscience mendukung bahwa psikoanalisis dan psikoterapi dapat mengubah struktur dan fungsi otak.

-       Dalam melakukan praktik psikiatri, selain memberikan psikofarmaka, psikoterapi tetap berperan penting, oleh karena itu sebagai psikiater sebaiknya mamahami dan menggunakan psikoterapi sebagai andalan terapi.

-       Strategi psikoanalisis, penting dipahami sebagai dasar melakukan praktik psikiatri, karena dengan memahami dan memanfaatkannya dalam praktik psikiatri, akan membantu memercepat terbentuknya rapport dan aliansi terapeutik, sehingga terminasi dapat dilakukan pada saat yang tepat dan pasien dapat menjadi autor dalam kehidupannya sendiri.

 

Pustaka Acuan

  1. Kolegium Psikiatri Indonesia.  Katalog Program Pendidikan Profesi Dokter Spesialis Ilmu Kedoktera Jiwa Indonesia (2013):25
  2. Gabbard GO. A neurobiologically informed perspective on psychotherapy diunduh dari http://bjp.rcpsych.org/content/177/2/117
  3. Karlsson H. How Psychotherapy Changes the Brain. PsychotherapyAddictionMajor Depressive DisorderNeuropsychiatryObsessive Compulsive DisorderSpecial Reports, diunduh dari:http://www.psychiatrictimes.com/psychotherapy/how-psychotherapy-changes-brain.
  4. Sripada B. Essential Psychoanalysis: Toward a Re-appraisal of the relationship between Psychoanalysis and Dynamic Psychotherapy  Psychodynamic Psychiatry 43(3) 396-8, 401-2, 2015. The Am Academy of Psychoanalysis and Dynamic Psychiatry
  5. Fenichel O, Psychoanalytic Theory of Neuroses, New York, W.W. Norton, 1945. $42.50. ISBN: 0-393-03890-4c
  6. Gerber AJ, Viner J, Roffman J. Neuroscience and Psychoanalysis, dalam Handbook of Psychodynamic approaches to Psychopathology, Luyten P et al (editor) The Guilford Press New York London (2015): 65-66
  7. Michels R The Psychoanalytic Theory of Neurosis, A Book Review. N Engl J Med 1996; 335:1469-1470 - 1996 Cornel University Medical College, New York, NY 10021
  8. Meissner J. Psychopathology and personality, dalam Kaplan & Sadock. Textbook of Psychiatry and behavioral sciences. William & Wilkins, Lippincott. 2013
  9. Friedman RC & Downey JI. Psychodynamic Psychiatry and Psychoanalysis. Psychodynamic Psychiatry 40(1) 5-8, 2012 The Guilford Press. New York, London.
  10. Friedman RC, Alfonso CA & Downey JI. Editorial: Psychodynamic Psychiatry and Psychoanalysis.: Two Different Models. Psychodynamic Psychiatry 43(4) 513-4, 2015.The The Guilford Press. New York, London.
  11. Auchincloss EL. New Development of The Therapeutic Alliance: Good News for Psychodynamic Psychiatry. Psychodynamic Psychiatry 44(1) 105-8, 2016.The Guilford Press. New York, London.