Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Sederhananya Psikoanalisis

Pada tingkat pemahaman dan penghayatan agak dalam, mungkin, psikoanalisis (dan neuropsikoanalisis) terasa sederhana. Beberapa hal berikut barangkali dapat ikut menggambarkannya.

Jika dilontarkan untaian kata “bawah-sadar”, atau “nirsadar”, sepertinya reaksi awal yang agak banyak terjadi adalah betapa perkataan itu mewakili ihwal yang sulit dipahami, esoteric, atau arcane. Namun pergumulan dalam dialektika dan penghayatan bersama pasien-pasien dalam klinik, kian menjernihkan pengertian bahwa bawah-sadar atau nirsadar tak ubahnya kebiasaan atau keterbiasaan yang menjadi dahsyat karena terejawantah sebegitu otomatis. Ia hidup dalam sokongan sirkuit-sirkuit neuronal dalam otak yang tandas dan dominan, yang tentu pula terhubung dengan organ-organ dan aneka sistem organ lain dalam tubuh, dengan demikian berpengaruh besar terhadap cara seorang person menjalani kehidupan dan hubungan.

Sebuah contoh lain, dalam psikoanalisis dikenali kemungkinan suatu pengalaman afektif digusur oleh pengalaman afektif atau penghayatan emosional lainnya, terutama yang, lebih kurang, sama tandasnya, atau lebih kuat daripadanya. Kondisi demikian merupakan salah satu dalil yang menerangkan efek trauma.
Manfaat klinisnya, terutama berupa pengejawantahan teknik regulasi afek sederhana, yang intinya adalah pembiasaan untuk tidak terpaku berkepanjangan pada suatu pengalaman afektif yang jelas membuahkan derita.

Dua komponen teknik spesifik ini adalah: (1) mengalami lainnya; dan (2) mengalami secara meluas.
Mengalami lainnya, memungkinkan hadirnya pengalaman afektif lain yang lebih memungkinkan pelepasan oksitosin dan serotonin, dan dengan demikian afek awal yang menimbulkan derita dapat digusur oleh afek baru yang mencerahkan, dan selanjutnya memungkinkan hemisferium kiri berperan dalam penghayatan derita secara rasional.
Sedangkan mengalami secara meluas, sesungguhnya adalah pengoptimalan peran belahan otak kanan, yang berkarakter reseptif, mampu melakukan containing, dan dapat menyaksikan peristiwa dalam konteks yang lebar yang lebih memungkinkan lahirnya kearifan. Dengan demikian, mengalami secara meluas pun berefek meregulasi afek.

Penceritaan ini barangkali mengungkap sebuah kenyataan, bahwa kedua hemisferium dan kolaborasi yang luwes kedua belahan otak sungguh mengandung potential capabilities untuk regulasi afek yang bagus. Namun satu hal layak dicurahi perhatian: betapa setiap “instruksi” (artinya, ajakan atau pengarahan atau pengajaran) dari terapis untuk pasien di tengah psikoterapi, akan efektif dan disambut dengan baik oleh pasien hanya apabila pasien dan terapis mengembangkan relasi terapeutik yang bagus.
Betapapun tepat dan baiknya suatu “instruksi”, ia tidak dapat berjalan dengan bagus tanpa naungan relasi terapeutik yang baik. Isu relasi ini memang senantiasa menjadi hal sentral dalam psikoanalisis (dan penulis condong mengalami psikoanalisis sebagai “tumpukan pengalaman yang dapat menambah kebijaksanaan dan kebajikan dalam menjalankan psikoterapi yang mana pun”).

Ihwal relasi atau keterhubungan yang bagus dan terus-menerus ini bahkan dapat ikut menerangkan isu “anomali demokrasi yang ditandai keleluasaan elite menggunakan kuasa seenak mereka setelah mendapatkan mandat dari rakyat”.
Dalam demokrasi, rakyat menyerahkan mandat kepada elite melalui memberikan suara (vote) dalam pemilihan umum. Mungkin, dalam masa singkat prapemilu, keterhubungan antara rakyat dan elite terjalin dengan cukup baik. Namun—ini inti anomalinya—begitu pemilu usai, keterhubungan itu tidak cenderung terus terjadi.
Keterpatahan relasional lantas memungkinkan elite yang sudah menggenggam mandat dari rakyat (kata yang lebih lugas: memiliki kekuasaan), berbuat apapun, atau menggunakan kekuasaan, seenak mereka sendiri.
Tentu tidak semua elite demikian. Singapura mungkin tidak sedemokratis negara-negara lain yang mengaku menganut demokrasi. Bahkan China itu disebut komunis. Namun elite di kedua negara berkultur bekerja secara accountable dan ethical, sehingga pengejawantahan kekuasaan cenderung membuahkan bonum commune.

Mungkin psikoanalisis mengilhamkan betapa perlunya ke depan diupayakan penciptaan dan pengejawantahan suatu sistem yang memungkinkan terselenggaranya relasi yang bagus dan terus-menerus antara rakyat dan elite, bahkan pula dalam masa pascapemilu. Dengan demikan, elite bersama rakyat terus terbimbing buat merealisasikan kuasa yang membuahkan maslahat untuk segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.
Mungkin seperti terapis dan pasien yang sepanjang proses terapeutik selalu menyelenggarakan dan merawat relasi terapeutik yang bagus.
(Limas Sutanto)