Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Theodor Reik dan Interpretasi

Menyampaikan penafsiran dalam perjalanan relasi terapeutik, bisa jadi merupakan jalan bagi terapis untuk cepat keluar dari penderitaan afektif yang ia dapatkan dari pasien yang memang hadir di hadapannya dengan segala derita emosionalnya. Sebenarnya, ketika psikoterapis “melepaskan pikirannya”, sehingga dapat merasakan penderitaan afektif pasien, ia berada pada posisi terapeutik, suatu kedudukan mental yang memungkinkannya membantu pasien bertumbuh kembang secara psikososial. Posisi terapeutik ini ditandai dominasi peran hemisferium kanan terapis, atau peran sistem kortikal prefrontal kanan yang preconscious, intuitive. Posisi mental itu disebut terapeutik karena dalam keadaan demikian ini terapis dapat terhubung dengan pengalaman-pengalaman derita emosional prasadar dan nirsadar pasien. Dalam keterhubungan ini, terapis dapat menegosiasikan peleraian derita yang tidak dapat terjadi pada platform sistem kortikal prefrontal kiri yang conscious, rational. Justru tatkala terapis cepat melontarkan interpretasi, ia bergegas berpindah ke posisi dominan hemisferium kiri yang conscious, rational. Ia segera lepas dari beban derita afektif pasien, tetapi kehilangan keterhubungan yang diperlukan untuk membantu pasien melaksanakan regulasi afek yang terapeutik.

Maka dalam pengajaran psikoterapi, khususnya yang berorientasi psikoanalitik, atau psikodinamik, disodorkan sebuah dalil: janganlah membuat interpretasi yang dini, tundalah penafsiran hingga ia dapat disampaikan pada waktu dan konteks yang memberikan manfaat terapeutik yang signifikan bagi pasien. Bachtiar Lubis, dalam masa membimbing penulis, menyampaikan pesan yang penulis tangkap demikian: jika dirimu belum dapat menghasilkan sebuah interpretasi yang mutatif, tundalah penyampaiannya, sampai pada suatu saat hal itu mungkin dapat dicapai. Kalaupun interpretasi yang mutatif tidak pernah dapat dibuat, ya tidak apa-apa tanpa interpretasi.

Dalam karya tulisnya, Adventures in Psychoanalytic Discovery, Theodor Reik (1956) menggambarkan betapa menanggung keadaan afektif pasien yang mengandung derita mendalam, dengan menolak godaan untuk segera mengakhirinya dengan menyampaikan interpretasi, merupakan keadaan yang sulit dan berat bagi terapis. Pada saat itu terapis merasakan seolah bumi tempat ia berpijak akan bergeser, “it may feel as if the ground is threatening to slip away”, kata salah satu murid Freud angkatan pertama itu.

Interpretasi sering terasa hebat bagi terapis yang membuatnya. Reik menyebutnya sebagai sweet reason, penalaran yang apik. Maka tak jarang terapis merasa benar dengan penafsiran yang ia buat. Apalagi interpretasi itu sesungguhnya adalah jalan baginya untuk meninggalkan penderitaan afektif pasien yang ikut mengganggunya. Namun untuk dapat membantu pasien secara terapeutik, terapis perlu “tidak memercayai penalaran yang terasa bagus itu”, bahkan ia perlu “menanggalkan pemikirannya sendiri”. Kata Theodor Reik (1956), “You have to mistrust sweet reason and to abandon yourself”, agar dapat meringankan penderitaan emosional pasien dan membantunya sedikit bertumbuh kembang. (Limas Sutanto)