Posted by Administrator | Kategori: Psikoterapi

Psikoterapi itu Bernegosiasi

Seorang pasien perempuan berumur awal tiga puluhan tahun yang menjalani long-term psychotherapy, pernah mengalami masa sulit ditandai disregulasi afek yang volatile dan parah. Lebih dari satu setengah tahun ia berada dalam masa melukai diri berulang. Dia mengatakan hal absurd, bahwa melukai diri adalah demi mengatasi perbuncahan rasa sakit yang berat. Aliansi terapeutik dengan terapis perlahan dapat memberikan pengalaman tenang dan percaya yang akumulatif, walaupun naik-turun tetapi kian condong mengantar dia untuk memiliki a new way of being and relating: hidup dapat dijalani dengan cukup mantap, relasi cukup dapat memberikan rasa diri bermakna, dan pengharapan yang baik bukanlah kesia-siaan melainkan sebuah perkembangan rasa percaya.

Pada sesi baru-baru ini, terapis memberi perhatian pada ekspresi-ekspresi nonverbalnya, dan mencatat keadaan-keadaan berikut.

Otot-otot pasien di sekitar mata, alis, dan mulut (musculi orbiculares oculi dan musculus orbicularis oris) lunglai, hanging downward limply; wajahnya kelam, sorot matanya hilang. Otot-otot badannya seperti tidak cukup kuat menyangga ketegapan, tubuhnya cenderung melengkung kyphotic. Dengan suara yang volumenya berkurang, iramanya datar, dan artikulasinya goyah, ia menuturkan bahwa seorang teman kuliahnya yang selama ini sudah pulang ke tanah airnya, kini datang kembali dan bekerja di perusahaan yang sama dengan pasien. Dua minggu terakhir sang teman tidak masuk kerja. Tiga hari yang lalu pasien makan malam bersamanya, ia melihat padanya banyak bekas luka sayatan yang sebagian besar sudah sembuh di daerah pergelangan tangan kanan dan kiri. Ia juga melihat beberapa bekas sayatan di leher. Wicaranya terhenti seluruhnya sebelum ia melanjutkan dengan berat, bahwa dirinya merasakan kesedihan yang menekan dadanya. Ia merasa seperti melihat dirinya sendiri di masa yang lampau.

Terapis menanggapinya dengan mengatakan bahwa memang pasien sungguh sedih, tetapi sekaligus ia merasakan melewati masa sulit yang menyedihkan. Arah perjalanan pasien adalah ke depan. Kemudian pasien dan terapis melewati masa diam; di ujungnya pasien mengatakan, sebaiknya pengalaman buruk tidak hanya dibicarakan tetapi dilampaui.

Otot-otot lunglai mulai sedikit bertenaga, seperti menandai menyembulnya semangat pasien untuk mengarungi kehidupan dengan cara baru yang sudah ia miliki. Keberadaan terapis yang in between, di antara yang nonverbal, nirsadar, dan yang verbal, sadar, telah memungkinkan ia menggulirkan sebuah proses negosiasi dengan pasien. A consented negotiation. Negosiasi yang meneguhkan capaian yang baik pada pasien, yang perlu diteruskannya. (Limas Sutanto)